Oleh:
Fahmi
Aktivis Karawang
Kasus pembacokan aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) di depan Pemda Karawang sejatinya membuat masyarakat terperenyak, ini bisa dikatakan sebagai 'malam jahanam di Pemda Karawang'. Jika biasanya tindak kriminal selalu dilakukan di tempat strategis jauh dari jangkauan dan pengetahuan orang, kini gelagatnya sudah mulai bergeser. Kedigdayaan dan marwah objek vital yang seharusnya steril dari kegiatan jahat, kini mulai rajin digunakan untuk mabuk-mabukan.
Keladinya, apalagi kalau bukan karena minimnya pengawasan terhadap peredaran minuman keras. Bisnis kenikmatan dunia ini memang selalu menyilaukan mata. Di dalamnya pasti tersemat timbunan duit tak sedikit. Sebab, minuman laknat itu sudah memiliki pelanggan fanatik dikalangan pemuda maupun orang tua. Polisi bukan berarti 'emoh' memberantas peredaran minuman keras ini. Namun, lambaian 'fulus' selalu tampil lebih menggoda, aliran duit ini memang fantastis.
Untung warung penyedia miras sejauh ini tidaklah seret, jika satu botol harga miras jenis vodka dijual Rp 30 ribu satu botol, dengan jumlah pembeli mencapai 10 orang saja semalam, maka uang yang dihasilkan mencapai Rp 300 ribu dari satu jenis miras. Padahal di warung itu banyak bertengger minuman lain yang harganya lebih tinggi. Jumlah duit itu bakal membengkak jika dihitung dalam keuntungan bulanan.
Melihat itu, polisi jelas jeli mencari celah, jika saja satu lapak warung penyedia miras dipajak Rp 500 ribu sebulan, dengan jumlah ratusan atau bahkan ribuan lapak yang kini tersedia, uang yang dihasilkan sungguh fantastis dan menggiurkan.
Gelontoran 'duit jumbo' itu ditengarai mengalir kesejumlah kantong pejabat di kepolisian Karawang serta disulap sebagai ATM (Anjungan Tunai Mandiri) pribadi. Hal ini disandarkan pada kenyataan bahwa masih banyaknya warung-warung penjual miras yang melenggang bebas hingga detik ini.
Fahmi
Aktivis Karawang
Kasus pembacokan aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) di depan Pemda Karawang sejatinya membuat masyarakat terperenyak, ini bisa dikatakan sebagai 'malam jahanam di Pemda Karawang'. Jika biasanya tindak kriminal selalu dilakukan di tempat strategis jauh dari jangkauan dan pengetahuan orang, kini gelagatnya sudah mulai bergeser. Kedigdayaan dan marwah objek vital yang seharusnya steril dari kegiatan jahat, kini mulai rajin digunakan untuk mabuk-mabukan.
Keladinya, apalagi kalau bukan karena minimnya pengawasan terhadap peredaran minuman keras. Bisnis kenikmatan dunia ini memang selalu menyilaukan mata. Di dalamnya pasti tersemat timbunan duit tak sedikit. Sebab, minuman laknat itu sudah memiliki pelanggan fanatik dikalangan pemuda maupun orang tua. Polisi bukan berarti 'emoh' memberantas peredaran minuman keras ini. Namun, lambaian 'fulus' selalu tampil lebih menggoda, aliran duit ini memang fantastis.
Untung warung penyedia miras sejauh ini tidaklah seret, jika satu botol harga miras jenis vodka dijual Rp 30 ribu satu botol, dengan jumlah pembeli mencapai 10 orang saja semalam, maka uang yang dihasilkan mencapai Rp 300 ribu dari satu jenis miras. Padahal di warung itu banyak bertengger minuman lain yang harganya lebih tinggi. Jumlah duit itu bakal membengkak jika dihitung dalam keuntungan bulanan.
Melihat itu, polisi jelas jeli mencari celah, jika saja satu lapak warung penyedia miras dipajak Rp 500 ribu sebulan, dengan jumlah ratusan atau bahkan ribuan lapak yang kini tersedia, uang yang dihasilkan sungguh fantastis dan menggiurkan.
Gelontoran 'duit jumbo' itu ditengarai mengalir kesejumlah kantong pejabat di kepolisian Karawang serta disulap sebagai ATM (Anjungan Tunai Mandiri) pribadi. Hal ini disandarkan pada kenyataan bahwa masih banyaknya warung-warung penjual miras yang melenggang bebas hingga detik ini.