Oleh Fahmi
Penanganan bencana dan dampaknya di Kabupaten Karawang ini ibarat anak sekolahan yang terus belajar, tapi tak kunjung naik kelas. Upaya penanganan bencana selalu kalah cepat daripada datangnya bencana.
Kegiatan pencegahan bencana, terutama banjir, kalah cepat dengan kegiatan perusakan ekologis yang menjadi biang keladi banjir tersebut. Walhasil, kita acap kali gagap dan keteteran menghadapi bencana. Padahal, sebahai daerah yang sangat rawan bencana, kegagapan harus segera berubah wujud menjadi kesigapan.
Penyebabnya ialah kehadiran politik kebencanaan yang separuh hati ala kadarnya. Politik kebencanaan separuh hati itu bisa dilihat dari minimnya anggaran penangan banjir. Itu juga berbanding lurus dengan sedikitnya Peraturan Daerah yang mengatur hal ini.
Kalaupun ada, kita khawatir penerapan dan penegakannya loyo. Bahkan, atas nama peningkatan pendapatan daerah atau malah pendapatan pribadi pejabat, aturan tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) itu yang mengharamkan segala bentuk aktivitas perusakan lingkungan pun bisa dinegosiasikan.
Politik kebencanaan kita semakin runyam dengan kacau balaunya koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten. Sejumlah kalangan mengusulkan konsep kolaborasi untuk menggantikan koordinasi. Namun, ibarat kolaborasi berbagai alat musik dalam sebuah orkestra, penganan bencana tetap memerlukan seorang konduktor.
Banjir yang menghantam silih berganti secara bertubi-tubi menyambangi Karawang semestinya menjadi cemeti yang melecut kesadaran pemerintah daerah untuk sepenuh hati menangani bencana.
Itu jika Karawang tidak mau disebut sebagai anak sekolah yang terus tinggal kelas dalam menangani bencana.
Penanganan bencana dan dampaknya di Kabupaten Karawang ini ibarat anak sekolahan yang terus belajar, tapi tak kunjung naik kelas. Upaya penanganan bencana selalu kalah cepat daripada datangnya bencana.
Kegiatan pencegahan bencana, terutama banjir, kalah cepat dengan kegiatan perusakan ekologis yang menjadi biang keladi banjir tersebut. Walhasil, kita acap kali gagap dan keteteran menghadapi bencana. Padahal, sebahai daerah yang sangat rawan bencana, kegagapan harus segera berubah wujud menjadi kesigapan.
Penyebabnya ialah kehadiran politik kebencanaan yang separuh hati ala kadarnya. Politik kebencanaan separuh hati itu bisa dilihat dari minimnya anggaran penangan banjir. Itu juga berbanding lurus dengan sedikitnya Peraturan Daerah yang mengatur hal ini.
Kalaupun ada, kita khawatir penerapan dan penegakannya loyo. Bahkan, atas nama peningkatan pendapatan daerah atau malah pendapatan pribadi pejabat, aturan tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) itu yang mengharamkan segala bentuk aktivitas perusakan lingkungan pun bisa dinegosiasikan.
Politik kebencanaan kita semakin runyam dengan kacau balaunya koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten. Sejumlah kalangan mengusulkan konsep kolaborasi untuk menggantikan koordinasi. Namun, ibarat kolaborasi berbagai alat musik dalam sebuah orkestra, penganan bencana tetap memerlukan seorang konduktor.
Banjir yang menghantam silih berganti secara bertubi-tubi menyambangi Karawang semestinya menjadi cemeti yang melecut kesadaran pemerintah daerah untuk sepenuh hati menangani bencana.
Itu jika Karawang tidak mau disebut sebagai anak sekolah yang terus tinggal kelas dalam menangani bencana.