KARAWANG, KarawangNews.com - Minggu (16/2), Federasi Serikat Buruh Kerakyatan Kabupaten Karawang melakukan aksi unjuk rasa di bundaran Mall Karawang, mereka menyatakan menolak undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan juga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), kedua jaminan kesehatan itu dianggap bukan solusi untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Buruh meminta pemerintah menyelenggarakan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat hanya dengan menunjukkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau KK (Kartu Keluarga) saja.
Dalam selebaran orasi buruh ini disebutkan, SJSN dan BPJS akan merugikan kepentingan masyarakat, karena keduanya merupakan paket reformasi jaminan sosial dan keuangan pemerintah yang digagas oleh Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2002 dan 2006. Berdasarkan dokumen ADB tahun 2006 yang bertajuk �Financial Governance and Social Security Reform Program� (FGSSR) disebutkan, bantuan teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain.
Melalui FGSSR ini maka kepentingan para pemilik modal dan agen neoliberal asing menyusupkan sejumlah pasal untuk memasukkan sistem asuransi tertentu kepada rakyat Indonesia. Setidaknya ada dua tahap pembiayaan FGSSR yang dijalankan sejak tahun 2002, yaitu FGSSR I sebesar US$ 250 juta pada periode 2002-2004 untuk membiayai SJSN dan FGSSR II sebesar US$ 300 juta pada tahun 2006 untuk membiayai BPJS.
�Meski namanya Sistem Jaminan Sosial Nasional, tetapi isinya malah menarik iuran wajib tiap bulan dari masyarakat tanpa pandang bulu, kaya maupun miskin. Dalam bab 5 pasal 17 ayat 1, 2 dan 3 SJSN sangat jelas penyusupan kepentingan para pemilik modal untuk mengeruk keuntungan dari sistem jaminan sosial di Indonesia,� kata Ketua Umum Federasi Serbuk, Riki Hermawan.
Dijelaskannya, pada ayat 1 tertulis, tiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Ayat 2 menyebutkan, setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala. Sedangkan ayat 3 menyatakan, besarnya iuran sebagaimana pasal (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
Dari pasal 17 ayat 1, 2, dan 3 tersebut menjelaskan, bahwa adanya pemaksaan kepada rakyat untuk ikut dalam asuransi sosial yang dibangun oleh rezim neoliberal. Hal ini bahkan dipertegas dalam pasal 1 ayat 3 yang menyatakan, asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib, yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.
Subsidi yang digembar gemborkan oleh rezim neoliberal, yakni fakir miskin dan orang tidak mampu akan dibayar oleh pemerintah pun sangat tidak jelas, karena garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh rezim neoliberal sangat jauh dari kondisi kenyataan yang ada. Standar kemiskinan yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah individu yang pengeluarannya sebesar Rp 7.000 per hari. Tentu saja ini akan menyebabkan angka kemiskinan di Indonesia turun drastis dan memunculkan orang kaya baru.
Pasalnya, orang yang berpenghasilan Rp 217.000 perbulan tidak akan lagi masuk dalam kategori miskin. Padahal banyak sekali rakyat Indonesia, walaupun memiliki penghasilan lebih dari Rp 7.000 per hari, tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok yang layak. Namun jelas, dengan turun drastinya angka kemiskinan di Indonesia, maka subsidi yang dipersiapkan oleh rezim neoliberal untuk orang miskin akan semakin sedikit.
Sedangkan BPJS memiliki independensi dalam pengelolaan dana tersebut. Dalam RBPJS pasal 8 (b) disebutkan: BPJS berwenang untuk menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengna mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehatian-hatian, keamanan dana dan hasil yang memadai. Dengan demikian BPJS berhak mengelola dan mengembangkan dana tersebut pada berbagai kegiatan investasi yang dianggap menguntungkan, seperti saham, obligasi, dan deposito perbankan. Dana yang dikumpulkan secara paksa dari 250 juta rakyat Indonesia tersebut nantinya akan disetor ke BPJS, lalu dikuasakan ke segelintir orang yang tergabung dalam Wali Amanah, yang sangat independen dan tidak boleh ada campur tangan pemerintah.
�Dana yang terkumpul itu akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, termasuk perusahaan asing, yang sangat sulit untuk dipertanggungjawabkan. Padahal dana ini dikumpulkan dari seluruh rakyat. Apalagi kalau 4 BUMN (Asabri, Taspen, Jamsostek dan Askes) digabungkan, maka akan terkumpul dana sekitar 190 triliun rupiah,� ungkap Riki. (spn)
Dalam selebaran orasi buruh ini disebutkan, SJSN dan BPJS akan merugikan kepentingan masyarakat, karena keduanya merupakan paket reformasi jaminan sosial dan keuangan pemerintah yang digagas oleh Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2002 dan 2006. Berdasarkan dokumen ADB tahun 2006 yang bertajuk �Financial Governance and Social Security Reform Program� (FGSSR) disebutkan, bantuan teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain.
Melalui FGSSR ini maka kepentingan para pemilik modal dan agen neoliberal asing menyusupkan sejumlah pasal untuk memasukkan sistem asuransi tertentu kepada rakyat Indonesia. Setidaknya ada dua tahap pembiayaan FGSSR yang dijalankan sejak tahun 2002, yaitu FGSSR I sebesar US$ 250 juta pada periode 2002-2004 untuk membiayai SJSN dan FGSSR II sebesar US$ 300 juta pada tahun 2006 untuk membiayai BPJS.
�Meski namanya Sistem Jaminan Sosial Nasional, tetapi isinya malah menarik iuran wajib tiap bulan dari masyarakat tanpa pandang bulu, kaya maupun miskin. Dalam bab 5 pasal 17 ayat 1, 2 dan 3 SJSN sangat jelas penyusupan kepentingan para pemilik modal untuk mengeruk keuntungan dari sistem jaminan sosial di Indonesia,� kata Ketua Umum Federasi Serbuk, Riki Hermawan.
Dijelaskannya, pada ayat 1 tertulis, tiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Ayat 2 menyebutkan, setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala. Sedangkan ayat 3 menyatakan, besarnya iuran sebagaimana pasal (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
Dari pasal 17 ayat 1, 2, dan 3 tersebut menjelaskan, bahwa adanya pemaksaan kepada rakyat untuk ikut dalam asuransi sosial yang dibangun oleh rezim neoliberal. Hal ini bahkan dipertegas dalam pasal 1 ayat 3 yang menyatakan, asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib, yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.
Subsidi yang digembar gemborkan oleh rezim neoliberal, yakni fakir miskin dan orang tidak mampu akan dibayar oleh pemerintah pun sangat tidak jelas, karena garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh rezim neoliberal sangat jauh dari kondisi kenyataan yang ada. Standar kemiskinan yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah individu yang pengeluarannya sebesar Rp 7.000 per hari. Tentu saja ini akan menyebabkan angka kemiskinan di Indonesia turun drastis dan memunculkan orang kaya baru.
Pasalnya, orang yang berpenghasilan Rp 217.000 perbulan tidak akan lagi masuk dalam kategori miskin. Padahal banyak sekali rakyat Indonesia, walaupun memiliki penghasilan lebih dari Rp 7.000 per hari, tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok yang layak. Namun jelas, dengan turun drastinya angka kemiskinan di Indonesia, maka subsidi yang dipersiapkan oleh rezim neoliberal untuk orang miskin akan semakin sedikit.
Sedangkan BPJS memiliki independensi dalam pengelolaan dana tersebut. Dalam RBPJS pasal 8 (b) disebutkan: BPJS berwenang untuk menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengna mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehatian-hatian, keamanan dana dan hasil yang memadai. Dengan demikian BPJS berhak mengelola dan mengembangkan dana tersebut pada berbagai kegiatan investasi yang dianggap menguntungkan, seperti saham, obligasi, dan deposito perbankan. Dana yang dikumpulkan secara paksa dari 250 juta rakyat Indonesia tersebut nantinya akan disetor ke BPJS, lalu dikuasakan ke segelintir orang yang tergabung dalam Wali Amanah, yang sangat independen dan tidak boleh ada campur tangan pemerintah.
�Dana yang terkumpul itu akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, termasuk perusahaan asing, yang sangat sulit untuk dipertanggungjawabkan. Padahal dana ini dikumpulkan dari seluruh rakyat. Apalagi kalau 4 BUMN (Asabri, Taspen, Jamsostek dan Askes) digabungkan, maka akan terkumpul dana sekitar 190 triliun rupiah,� ungkap Riki. (spn)